Sebutkan 5 Konsep Pemikiran Ekonomi menurut Moh. Hatta
Ekonomi
JeslynK
Pertanyaan
Sebutkan 5 Konsep Pemikiran Ekonomi menurut Moh. Hatta
1 Jawaban
-
1. Jawaban Iraaaaaa1
Pandangan Bung Hatta tentang Kesejahteraan Rakyat
Kita semua telah mengetahui perjuangan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama Bung Karno.
Apa yang akan saya kemukakan adalah konsistensi antara perjuangan mencapai dan mengisi kemerdekaan yang telah dilakukan Bung Hatta sebagai contoh dari totalitasnya yang berikutnya.
Seringkali di berbagai kesempatan dan pada berbagai tulisan, Bung Hatta menegaskan tentang perbedaan antara “kedaulatan rakyat Indonesia” dengan kedaulatan rakyat di Barat. Kedaulatan rakyat sebagai inti dari demokrasi (Volkssouvereiniteit atau people’s sovereignty) berbeda antara paham Indonesia dan paham Barat. Kedaulatan rakyat sebagai inti demokrasi tidaklah sama mengenai apa yang berlaku di Barat dan yang berlaku di Indonesia.
Demokrasi di Barat bertumpu pada paham liberalisme dan individualisme. Di pihak lain, demokrasi di Indonesia yang juga bertumpu “rasa bersama”, lebih spesifik lagi, berdasar pada paham kebersamaan dan asas kekeluargaan (brotherhood).
Kebersamaan dan asas kekeluargaan yang sesuai dengan budaya Indonesia ini juga dikenal di Barat dengan istilah mutualism and brotherhood, yangkiranya di dalam lingkungan masyarakat beragama Islam dikenal sebagai ke-jemaah-andanke-ukhuwah-an. Demokrasi Barat yang juga bertumpu pada kedaulatan rakyat itu disebut sebagai demokrasi liberal yang menjunjung tinggi nilai-nilai individualisme. Kepentingan individu atau orang per orang lebih diutamakan dalam demokrasi Barat.
Sebaliknya dalam demokrasi Indonesia, yang dipentingkan adalah kebersamaan dan kepentingan bersama, artinya mengutamakan kepentingan kolektif. Demokrasi Indonesia atas dasar kebersamaan dan asas kekeluargaan ini di dalam kehidupan keekonomian ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 UUD 1945 berbunyi:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara.
UUD yang diamandemen pada tahun 2002 (melalui Amandemen keempat terhadap UUD 1945) menambah Pasal 33 UUD 1945 dengan dua ayat, yaitu:
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional; (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Saya bukan ahli ekonomi, saya memahami Pasal 33 UUD 1945 hanya secara umum saja, tidak mendetail dan mendalam. Namun dari berbagai pemberitaan saat ini, saya dapat menangkap bahwa setelah paham ekonomi komunis yang berlaku di Uni Soviet dan di Eropa Timur runtuh dan kemudian saat ini kita menyaksikan bahwa paham kapitalisme Barat dengan pasar-bebasnya mulai guncang dan mulai diragukan oleh rakyat Amerika Serikat dan Eropa, maka oleh kelompok ekonomi yang menyebut dirinya berpaham ekonomi konstitusi, Pasal 33 UUD 1945 mulai dibangkitkan kembali menjadi harapan dan andalan. Para pemenang Nobel sejak awal millenium baru ini seperti Prof. Stiglitz, Prof. Akerlof, Prof. Krugman telah menegaskan bahwa globalisasi yang berdasarkan kapitalisme dengan pasar-bebasnya tidak bisa dipertahankan. Sebelum millennium lalu berakhir, Prof. Anthony Giddens sudah membayangkan diperlukannya “jalan ketiga” yang bukan sosialis-komunis dan bukan pula kapitalisme pasar-bebas.
Jauh-jauh hari pada tahun 1934 Bung Hatta telah menolak pasar-bebasnya Adam Smith, dan tentu Hatta sebelum itu, tatkala memimpin Perhimpunan Indonesia, sebelum tahun 1930 telah dengan tegas menolak pula komunisme. Kemudian ketika beliau dibuang di Boven Digoel pada tahun 1935 Bung Hatta sudah mulai menggagas Pasal 33 UUD 1945.
Perlu saya tegaskan di sini paham ekonomi Bung Hatta sebagaimana terumuskan dalam Pasal 33 UUD 1945 bukanlah “jalan tengah"